Legioma--Dampak pandemi corona atau covid 19 di Indonesia menghujam bangsa Indonesia. Yang paling mengerikan wabah itu akan masuk sendi-sendi kehidupan masyarakat, termasuk membuat rapuh ketahanan pangan nasional.Hidroponik skala rumah tangga
Hantu virus corona juga sudah merusak tatanan kehidupan sosial bermasyarakat, di antaranya hilangnya kepercayaan terhadap orang di sekitar kita apalagi yang baru kita kenal. Rasa saling curiga secara naluri akan menerapkan social distancing, bahkan telah mengganggu kehangatan anggota keluarga di rumah, maka rusaklah semua tata krama yang telah dibangun selama ini. Saling jabat tangan, cipika-cipiki, pasalnya virus ini bisa bepindah kalau kita berjabat tangan atau bersentuhan.
Lantaran itulah maka pemerintah menerepkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PPBB) dengan tujuan agar rantai kehidupan virus corona putus. DKI Jakarta sudah memutuskan untuk penerapan PPBB, agar dampaknya lebih terlihat maka akan menyusul diterapkan di kota satelitnya yaitu Depok, Bekasi, dan Tangerang.
Apa yang terjadi jika PPBB diberlakukan, yang pasti akan banyak pembatasan kerumunan orang, termasuk di pasar akan diberlakukan social distancing atau jaga jarak sosial. Akibatnya pengunjung pasar merosot, penjualan akan tidak sesuai harapan, akibatnya para pedagang banyak yang gulung tikar termasuk pedagang sayur mayur.
Inilah yang ditakutkan para ibu rumah tangga, jika tidak ada pedagang sayur mayur lantas bagaimana bisa memenuhi kebutuhan makanan sehat di rumah. Maka perlu adanya gerakan meningkatkan ketahanan pangan keluarga, lebih khusus lagi pada sayuran dengan membangun kebun sayur keluarga untuk melawan dampak pandemi virus corona (covid-19).
Instalasi hidroponik sistem DFT memanfaatkan teras rumah - (Slamet Riyanto/Republika)
Dengan memanfaatkan tepat kosong di sekitar rumah, kita bisa banyak berkreasi dengan tanaman, banyak teknologi tepat guna pertanian yang dapat diterapkan, mulai dari teknik tabulampot, aerophonik, dan juga teknologi hidroponik. Namun yang paling tepat untuk diaplikasikan di daerah perkotaan adalah teknologi hidroponik.
Ketahanan pangan di keluarga melalui program Kebun Sayur Keluarga ini dilakukan untuk menyiasati kebutuhan sayuran bagi keluarga tanpa harus membeli, alias memetik dari halaman rumah sendiri, dapat dimulai dengan memenuhi kebutuhan sayuran sehari-hari dengan cara produksi sendiri. Lantas bagaimana caranya?
Semakin menyempitnya lahan pertanian, teknologi pertanian hidroponik bisa menjadi pilihan untuk menyangga ketahanan pangan khususnya di lingkungan keluarga. Hidroponik bisa dikembangkan menjadi Kebun Sayur Keluarga, bahkan tidak mustahil menjadi pemberdayaan ekonomi keluarga.
Kebun hidropinik sangat hemat tempat, lahan sempit pun jadi, bahkan di beberapa perkampungan padat memanfaat pinggir gang menjadi instalasi hidroponik, teras rumah lantai atas yang biasanya terbengkalai bisa disulap menjadi kebun sayur keluarga, sedangkan di beberapa lokasi perumahan memanfaatkan lahan tidur fasos/fasum disulap menjadi instalasi hidroponik sekaligus menjadi pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Instalasi hidroponik bertingkat bisa lebih optimal, lahan satu m2 bisa menghasilkan 80 lubang tanam. Setiap lubang tanam bisa ditanam satu pohon sawi, atau sejenis lettuce (selada), namun jika tanaman kangkung bisa memuat sampai 10 pohon.
Usia sawi hidroponik relatif singkat, hanya 30 hari sawi sudah bisa dipanen, bahkan untuk kangkung hanya butuh waktu 25 hari, sudah bisa dibuat tumis yang penuh gizi. Dengan usia tersebut berat sawi rata-rata mencapai 80-90 gram per bonggol.
Jadi jika kita punya lahan satu m2 yang bisa menampung 80 lubang tanam sawi, maka dalam satu bulan bisa menghasilkan sawi dewasa sebanyak 80 bonggol, dengan berat total 6.400 gram atau 6,5 kilogram, Jika dikapitalisasi harga per kilogram dihargai Rp 15.000, maka akan menghasilkan Rp 96.000.
Jika untuk konsumsi sendiri, sekali memasak memerlukan 3 bonggol, maka sekali panen dapat memenuhi kebutuhan sayuran untuk 27 keluarga. Saat pandemi corona saat ini, berkebun tanpa tanah ini menjadi solusi, tidak kotor dengan tanah, bahkan tidak perlu mencangkul. Hobi pun bisa menjadi solusi ketika minim sayuran.
Agar panen bisa diatur sesuai kebutuhan maka planting management menjadi sangat penting. Misalnya jika kita memiliki 80 lubang tanam, maka waktu menanam kita bagi menjadi lima periode. Artinya sepekan sekali kita harus menanam pada 15 lubang pada instalasi hidroponik. Sehingga pada pekan ke-6 dan seterusnya sayuran hidroponik sudah bisa dinikmati sebanyak 15 lubang tanam per pekan.
Kerja sama antar rumah menjadi penting, apabila ada lima keluarga yang berdekatan menanam sayuran hidroponik dengan lima jenis sayuran, mereka bisa saling berbagi (barter). Bagaiman jika ada 50 atau 100 keluarga yang mempunyai hobies hidroponik selalu panen setiap hari dan saling bertukar pruduknya? Ketahanan pangan khususnya sayuran di tingkat keluarga tentu akan menjadi solusi di tengah maraknya wabah corona. Slamet Riyanto
Tulisan ini juga dimuat di Republika Online
0 Komentar